Jumat, 17 Juni 2011

Sinergisme (al Ta’awun) Duniawi dan Ukhrawi
Oleh: Nashiruddin Ahmad Baijuri*

Manusia sebagai khalifah diberi tugas untuk melaksanakan manajerial Tuhan: menjamah lingkungan serta melakukan transformasi sosial. Sebagai seorang muslim kita harus melangkah: bekerja, berpolitik, berkesenian, dan sebagainya. Tujuan yang kita gapai dari semua itu adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ditengah-tengah lingkungannya pada zaman itu. Konon, Rasulullah saw. sebelum di utus untuk menyebarkan Islam, Rasulullah juga melakukan aktifitas sebagaimana manusia biasanya, dalam sejarahnya beliau pernah menjadi penggembala yang terpercaya dan pedagang yang jujur .

Dari sejarah kehidupan Rasulullah dapat kita ambil kesimpulan, bahwa idealnya seseorang di dalam menjalani kehidupan ini haruslah menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Yakni hidup tidak hanya bersifat ubudiyah interaksi kepada Tuhan semata, melainkan juga ber-mu’amalah kepada sesama manusia. Hidup tidak hanya memiliki “kesalehan ritual” yang hanya mementingkan ibadah mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya (hanya hablun minallah). Melainkan dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi manusia juga dituntut memiliki “kesalehan sosial” yakni memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya (hablun minan naas).

Namun di dalam menjalankan tugasnya, manusia sering menemukan kendala diri karena dia memiliki cara berpikir ganda. Misalnya, ketika dia melihat seseorang dalam kesulitan keuangan, dia akan berpikir: "kalau dia tidak saya tolong, kasihan. Tetapi kalau saya tolong, nanti harta saya berkurang...". Perdebatan antara perbedaan terjadi karena manusia memiliki dua potensi . Ruh Hayati yang selalu menuntut agar jasmani kita sejahtera, abadi di bumi, ditentang ruh Idhafi yang senantiasa ingin kembali kepada Tuhan. Dialog memperjuangkan kepentingan fisikal (oleh ruh hayati) dan kepentingan spiritual (oleh ruh idhafi) tidak pernah berakhir manakala kita sendiri tidak menentukan langkah apa yang mesti kita lakukan. Di sinilah manusia diberi kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri.

Pada zaman dahulu, para brahma, biksu, rahib-rahib, dan orang-orang suci yang telah ma'rifah billah tidak berani menyimpan harta. "Di dalam rumah saya tidak boleh ada harta. kalau saya bekerja mendapatkan uang sepuluh ribu, dua ribu untuk makan, maka yang delapan ribu harus saya akhiratkan." Bagian hidupnya di dunia dilupakan, semua dianggarkan untuk akhirat . Sistem agama dahulu memang demikian. Tetapi hal ini sekarang tidak lagi relevan, karena setiap orang harus sanggup menopang dirinya sendiri selain harus menolong orang lain. Orang yang hanya menolong pihak lain berarti hanya melaksanakan manajerial Tuhan tanpa mengembangkan diri. Kehidupannya hanya untuk akhirat tanpa meni’mati keni’matan Allah yang diberikan di dunia. Padahal kita harus mendapatkan dunia kita untuk bisa menolong dua kali hingga seribu kali, kita harus memiliki sisa sebagai aset yang bisa dikembangkan.

Proses sebuah ikhtiar untuk sanggup menopang diri sendiri selain harus menolong orang lain adalah dalam rangka menjaga agar tidak menyiksa keadaan sendiri, yang bisa-bisa akan mengarahkan kepada sebuah kefakiran dirinya sendiri. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “kefakiran cenderung mengarahkan kepada kekufuran” . Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik tersebut merupakan sebuah rambu-rambu, bahwa dalam menghadapi hidup kita harus sedapat mungkin untuk menjauhkan diri dari kefakiran. Yang dalam hal ini, seseorang harus dapat memenuhi kebutuhan sendiri, selain membantu orang lain.

Allah telah memberikan petunjuk agar kita tepat dalam bersikap; tidak memenangkan satu kekuatan (ruh) dan mematikan kekuatan yang lain. Keduanya, baik kekuatan fisikal (ruh hayati) maupun kekuatan spiritual (ruh idhafi), harus sama-sama dimenangkan. Win-win solution; mencapai kebahagiaan di akhirat dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Petunjuk untuk mensinergikan keduanya terdapat di dalam firman-Nya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” .

Ayat tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan . Menurut tafsir Ibn Abbas, “Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia” .

Oleh karena itu, setiap hendak melakukan sesuatu perbuatan harus ada kompromi (dialog ruh), selanjutnya di dalam berinteraksi dengan orang lain, kita juga harus melakukan kompromi yang serupa. Inilah yang disebut moment of creation, yaitu momen mencipta yang senantiasa membutuhkan pendekatan dan pengorbanan. Kita tidak hanya mencari keuntungan akhirat, tapi juga keuntungan dunia, kita tidak hanya mencari kemenangan sendiri, tetapi harus memikirkan pula kemenangan orang lain. Misalnya, kompromi antara penjual dan pembeli, antara pemimpin dan yang di pimpin, antara bapak dan anak. Kedua pihak harus ada interaksi dengan tidak menggunakan kekuasaannya. Bahwa setiap manusia merasa memiliki kekuasaan, sehingga cenderung akan menggunakannya dalam upaya memaksakan kehendak .

Rasulullah saw. telah bersabda, “I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan”, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Hadis ini dapat kita pahami dengan pemahaman “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa, “Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat. Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang) .

Fenomena kehidupan beragama kaum Muslim dewasa ini, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”. Padahal semuanya tahu tentang hak-hak hablun minallah dan hablun minan nas.

Inilah yang menjadi permasalahan kita bersama, sebagai muslim sebenarnya kita memiliki dua tuntutan sekaligus, antara hablun minallah dan hablun minan nas. Antara interaksi kita kepada manusia dalam rangka menejerial bumi dan interaksi kita kepada Tuhan dalam rangka tugas kita sebagai ciptaan-Nya yang harus menundukkan diri kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” .

*Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla’un Najah Bragung