Senin, 30 Mei 2011

Mari Bersyukur (3)
al Syukr bi al Arkan
oleh: Nashiruddin Ahmad Baijuri*

Bersyukur (menghargai nikmat) dengan perbuatan; Ibnul-Qayyim mengatakan ada 2 cara menghargai nikmat dgn perbuatan; pertama: menceritakan nikmat tersebut, dan kedua: menggunakan nikmat tersebut dalam hal yang diridhai Allah. Yang pertama dalilnya surah Adh-Dhuha ayat 11: Wa Amma Bini'mati Rabbika Fahaddits;artinya: "Adapun dengan nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah".

Menceritakan nikmat Allah ialah dalam rangka ingin berbagi bukan untuk pamer atau riya. Dan yg kedua dalilnya surah Al-Qashash ayat 77: "Wab-taghu Fima Atakallahud-Darul-Akhirah Wa La Tansa Nashibaka Minad-Dun-ya"; artinya: "Dan carilah dengan apa yang Allah anugerahkan kepada-mu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kamu lupakan bagian-mu dari (kenikmatan) dunia.

Ayat ini dengan jelas memerintahkan menggunakan potensi-potensi nikmat yang Allah berikan, seperti harta, kesehatan, ilmu dsb untuk mencari kebahagiaan akhirat, bukan untuk mencari kesenangan dunia; namun ayat ini juga mengingatkan untuk tidak melupakan bagian kenikmatan dunia, yaitu kenikmatan-kenikmatan yang dihalalkan oleh Allah. Dan orang yang menggunakan potensi-potensi nikmat untuk mencari akhirat akan memperoleh keutamaan yang luar-biasa.

Nabi saw bersabda: "Wa Man Kanatil-Akhiratu Niyyatahu Jama'allahu Lahu Amrahu, Wa Ja'ala Ghinahu Fi Qalbihi, Wa Atathud-Dun-ya Wa Hiya Raghimatun"; artinya: "Siapa-saja yang niatnya mencari akhirat,maka Allah akan menyelesaikan semua persoalannya, dan menjadikan kekayaan di hatinya; dan Dunia pun akan datang kepada.nya dengan menunduk". (H.R. Ibnu Majah).

Inilah makna bersyukur atau mensyukuri (menghargai) nikmat yang sesungguhnya; dengan lisan, hati dan perbuatan. Ibnul-Qayyim berkata: "Fa-idza Fa'ala Dzalika Faqad Syakaraha"; artinya: "Siapa-saja yang telah melakukan -- ke-3 (tiga) hal-- ini, maka ia benar-benar telah bersyukur".

Dan dengan bersyukur seperti ini, segala nikmat yang dimiliki akan terjaga, tidak akan lepas, bahkan akan semakin bertambah. Inilah yang dimaksud dengan: La-in Syakartum La-azidannakum" (Surah Ibrahim ayat 7); artinya: "Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah --nikmat-- untuk kalian.

Disamping bersyukur kepada Allah, kita juga diperintah untuk bersyukur kepada manusia; yaitu menghargai jasa atau perbuatan oranglain terhadap kita. Sabda Nabi saw.: "Man Lam Yasykurin-Nasa Lam Yasykuril-Laha"; artinya: "Siapa-saja yang tidak bersyukur --menghargai-- manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah".

Dalam hal ini kita bisa menyaksikan dan mencontoh Rasulullah saw; betapa Beliau sangat menghargai manusia, khususnya para sahabatnya yang setia. Dan Beliau saw melarang siapa pun mencaci sahabatnya, sabda Beliau: "La Tasubbu Ash-habi"; artinya: "Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Sekian (Wallahu A'lam)

* Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla'un Najah Bragung

Sabtu, 21 Mei 2011

Mari Bersyukur (2)
al Syukr bi al Qalb
oleh: Nashiruddin Ahmad Baijuri

Imam Ibnul-Qayyim mengistilahkan bersyukur dengan hati dengan "Al-I'tirafu Bi an Ni’ami Bathinan"; artinya: "Mengakui nikmat tersebut secara batin". Maksudnya, hatinya benar-benar mengakui bahwa nikmat itu se-mata-mata pemberian Allah. Bersyukur dengan hati lebih sulit daripada bersyukur dengan lisan/ucapan. Rasulullah saw telah memerintahkan hal ini, sabda Beliau: "Liyattakhidz Ahadukum Qalban Syakiran.."; artinya: "Hendaklah tiap seseorang diantara kalian --berusaha-- membuat hatinya selalu bersyukur...". Bagaimana petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. untuk membuat hati selalu bersyukur kepada Allah?

Bersyukur dengan hati atau membuat hati selalu bersyukur kepada Allah, dilakukan dengan 2 (dua) cara:
Pertama, Selalu mengingat nikmat Allah, terutama sekali nikmat Al-Quran dan Hikmah, sebagaimana firman Allah: "Wadzkuru Ni'matallahi 'Alaikum Wa Ma Anzala 'Alaikum-minal-Kitab Wal-Hikmah Ya'izhukum Bihi". Artinya: "Dan ingatlah selalu akan nikmat Allah, dan juga apa yang Dia turunkan untuk kalian dari Al-Kitab (Al-Quran) serta Hikmah; yang dengannya (Al-Quran), Dia memberi nasehat kepada kalian" (Surah Al-Baqarah :231). Hikmah ialah: Perkara yang benar dan lurus, keadilan, pengetahuan dan sikap santun. Ayat ini menyatakan bahwa Al-Quran dan Hikmah adalah nikmat yang besar yang harus selalu diingat.

Ibnu Hajar mengatakan: Mengingat ayat-ayat Allah dan nikmat-nikmat Allah akan melahirkan 4 (empat) sikap utama: (1) Tauhid; yaitu percaya sepenuhnya terhadap ke-Esaan Allah dalam. Dzat, Perbuatan dan Sifat; tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya; (2) Keyakinan: yaitu yakin terhadap semua janji-janji Allah; (3) Rasa Cinta kepada Allah, dan (4) Perasaan bersyukur atau kesyukuran hati.

Kedua, ialah dengan memperbanyak berdzikir; yaitu mengingat dan menyebut nama Allah; sebagaimana firman-Nya: "Fadzkuruni Adzkurkum, Wasy-Kuruli Wa La Takfurun"; artinya: "Maka berdzikirlah (ingatlah) kalian kepada-Ku, maka Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada.-Ku, dan jangan mengingkari --nikmat--Ku. (Surah Al-Baqarah:152).

Disebutkan bahwa Nabi Musa a.s. pernah bertanya kepada Allah: "Wahai Rabb-ku, bagaimanakah cara aku bersyukur kepada Mu". Maka Allah SWT menjawab:"Tadzkuruni Wa La Tansani, Fa-Idza Dzakartani Faqad Syakartani, Wa Idza Nasitani Faqad Kafartani"; artinya: "Berdzikirlah (Ingatlah) engkau senantiasa kpd.-Ku; jangan engkau lalai (lupa) dari –mengingat-Ku, maka jika engkau senantiasa berdzikir kpd.-ku; berarti engkau bersyukur kepada-.Ku; dan jika engkau lalai (lupa) dari --mengingat--Ku, maka berarti engkau mengingkari --nikmat--Ku. Jadi, banyak berdzikir kepada Allah akan mendorong hati bersyukur kepada nikmat Allah. Inilah pengikat nikmat yang kedua; bersyukur dengan hati.

Nabi saw. menunjukkan cara menjaga hati agar tetap mensyukuri nikmat Allah, beliau bersabda: "Idza Nazhara Ahadukum Ila Man Fudhdhila 'Alaihi Fil-Mal Wal-Khalq, Fal-yanzhur Ila Man Huwa Asfala Minhu"; artinya:"Jika seorang dari kalian melihat orang lain yang diberi kelebihan dalam harta dan ketampanan, maka hendaklah ia melihat orang yang di bawahnya" (H.R. Muslim). Dalam hadits lain, sabda Nabi saw:"Fahuwa Ajdaru An-La Tazdaru Ni'matallahi 'Alaikum" artinya: "Maka --melihat orang yang di bawah kalian-- merupakan sikap yang tepat untuk tidak meremehkan nikmat Allah pada Kalian" (Muttafaqun 'Alaih). Yang dimaksud "melihat orang yang di bawah" ialah: "Org yang kondisi ekonomi berada dibawah kita, lebih susah dari kita, banyak mendapat cobaan seperti: sakit, cacat fisik, buta dsb." "Dan jangalah engkau tujukan pandangan mata-mu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan Dunia,agar Kami uji mrk. dengan kesenangan itu. Karunia Rabb-mu lebih baik dan lebih kekal" (Surah Thaha ayat 131).

Disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi: "An-Nazharu Sahmun Min Sihami Iblis, Wa Man Tarakahu Makhafati Abdaltuhu 'Ibadatan Yajid Halawataha"; artinya: "Pandangan (mata) merupakan panah dari panah-panah Iblis yang beracun. Dan siapa-saja yang meninggalkannya --tidak mengikuti dorongannya-- karena merasa takut kepada-Ku (Allah), maka Aku akan memberi ganti untuknya dengan ibadah (ketaatan) yang ia dapat merasakan manisnya --ketaatan –“

* Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla’un Najah

Jumat, 20 Mei 2011

Mari Bersyukur (1)
al Syukr bi al Lisan
Oleh: Nashiruddin Ahmad Baijuri*

Syukur adalah "menghargai nikmat" dan tidak menghinanya. Nabi saw memberi petunjuk yang jelas dalam hal ini, sabda Beliau: "Man Lam Yasykuril-Qalil Lam Yasykuril-Katsir".
Artinya:"Siapa-saja yang tidak bisa menghargai --nikmat-- yg sedikit, maka ia tidak akan bisa menghargai --nikmat-- yang banyak". Ini merupakan tahapan awal di dalam konsep syukur, yaitu dimulai dari yang paling kecil dan sederhana.

Mensyukuri atau menghargai nikmat, akan membuat nikmat semakin bertambah, sebagaimana firman Allah: "La-in Syakartum La-azidannakum", artinya: "Niscaya jika kalian bersyukur (menghargai), pasti Aku (Allah) akan menambah --kenikmatan-- untuk kalian" (Surah Ibrahim (14) ayat 7). Persoalannya adalah, Bersyukur yang bagaimana yang bisa menambah kenikmatan?
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa cara mensyukuri nikmat Allah itu ada 3 (tiga); (1) Lisan/Ucapan (2) Hati (3) Perbuatan.

Imam Ibnul-Qayyim mengistilahkan 3 (tiga) hal ini sebagai Qaidun-Ni'mah (Pengikat Nikmat); yaitu 3 (tiga) hal yang membuat nikmat menjadi terikat, tidak lepas, tidak berkurang apalagi hilang, bahkan nikmat itu akan bertambah terus. Nah, bagaimanakah cara bersyukur atau menghargai nikmat dengan lisan/ucapan? Pada dasarnya, manusia tidak akan mampu mensyukuri nikmat Allah yang begitu banyak, dan tak terhitung, sebagaimana firman-Nya: "WA In Ta'uddu Ni'matallahi La Tuhshuha"; artinya: "Jika kalian --mencoba--menghitung nikmat Allah, pasti kalian tidak bisa menjumlahnya" (Surah Ibrahim (14) ayat 34). Karena itu Allah memberikan kalimat yang luar -biasa; yaitu: Al-Hamdulillah.

Ibnu 'Abbas mengatakan: "Al-Hamdulillah Kalimatusy-Syukri"; artinya:"Al-Hamdulillah adalah kalimat untuk bersyukur". Yaitu, dengan ucapan Al-Hamdulillah, seseorang sudah dapat disebut bersyukur atau mensyukuri/menghargai nikmat Allah. Dan inilah yang disebut bersyukur dengan lisan/ucapan. Nabi saw bersabda: "Ma An'amallahu 'ala 'Abdin...
Artinya: "Tidaklah Allah memberi suatu kenikmatan kepada seseorang, lalu ia mengucapkan Al-Hamdulillah, melainkan ucapan hamdalahnya itu lebih istimewa (afdhal) dari nikmat tsb".(H.R.Ath-Thabrani). Maksudnya,jika seseorang mendapat nikmat, lalu ia mengucapkan Al-Hamdulillah, maka nilai atau kontribusi ucapan itu lebih besar dan lebih dahsyat dari nikmat yang dia peroleh. Inilah kehebatan kalimat "Al-Hamdulillah".

Masih tentang kehebatan ucapan Al-Hamdulillah, Nabi saw bersabda: "Law Annad-Dun-ya Kullaha wa Ma fiha Fi Yadi Rajulin Min Umati, Tsumma Qala:Al-Hamdulillah, Lakanal- Hamdu Afdhala Min Dzalika"; artinya: "Seandainya Dunia seluruhnya, beserta isinya diberikan kepada seorang dari umat-ku, lalu ia berkata: Al-Hamdulillah, maka ucapan Al-hamdu itu lebih utama dari itu semua".(H.R.Al-Hakim).

Hadits ini menyatakan betapa luas dan besarnya keutamaan ucapan Al-Hamdulillah, lebih luas dan besar daripada Dunia dan se-isinya. Bahkan ucapan Al-Hamdulillah mendatangkan keridhaan Allah sebagaimana sabda Nabi saw: "Innallaha Ta'ala Layardha 'Anil-'Abdi An-Ya'kulal-Aklata Aw Yasyrabasy-Syurbata Fayahmadullaha 'Alaiha";artinya: "Sungguh Allah benar-benar ridha kepada seorang hamba, jika ia mengkonsumsi makanan atau minuman, ia selalu mengucapkan Al-Hamdulillah" (H.R.Ahmad,Muslim,At-Tirmidzi dan An-Nasa-i).

Ibnu 'Abbas berkata:"Al-Hamdulillah Kalimatu Kulli Syakirin"; artinya:"Al-Hamdulillah adalah kalimat --yang diucapkan oleh-- setiap org yg bersyukur". Inilah ilmu tentang bersyukur dengan "lisan/ucapan" yang diajarkan Rasulullah saw. Sepantasnyalah kita mulai mendidik diri kita untuk bersyukur yaitu menghargai nikmat Allah dengan lisan kita.

Sebagai penutup kajian ini, terdapat sabda Rasulullah saw yang bisa dijadikan bahan renungan: "Ma An'amallahu 'Abdan Ni'matan Faqala: Al-Hamdulillah, Illa Kanalladzi A'tha Afdhal Min-Ma Akhadza"; artinya:"Tidaklah seorang hamba diberi nikmat oleh Allah, lalu ia mengucapkan: Al-Hamdulillah, melainkan --ucapan-- yang dia berikan itu lebih utama dari --nikmat-- yang dia peroleh (H.R. Ibnu Majah)

* Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla'un Najah Bragung

Kamis, 19 Mei 2011

MEWASPADAI GERAK JARINGAN YAHUDI INTERNASIONAL
Oleh:Nashiruddin Ahmad Baijuri*


“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. (QS. Al Baqarah: 120)
1. POKOK MASALAH
Bila kita mau dan mampu untuk mencermati atau mengamati aneka kisah yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an, tentu kita dapat menarik kesimpulan, bahwa orang Yahudi memang amat Iihai dalam mengulur-ulur perjanjian, mengotak-atik kata, memutar balikkan fakta dan data.
Kepandaian serta kelebihan Yahudi itu juga disitir dn disindir oleh A1-Qur’an, bahwa “Sesungguhnya Aku teIah melebihkan kamu atas segala umat (yang lain )“. (QS. Al Baqarah: 122).
Dengan mengaku sebagai ras yang terbaik (pilihan Tuhan), mereka lalu membagi manusia menjadi dua golongan, yakni kaum Yahudi di satu pihak dan kaum Goyim (bukan Yahudi) di pihak yang harus diktuasai dengan kecerdikan dan kekerasan.
2. NAMA GERAKAN YAHUDI
Nama gerakan Zionisme diambil dan suatu nama di Palestina, Zion (bahasa Ibrani Tsiyon), satu benteng yang dahulu direbut oleh Nabi Daud dan dianggap oleh kaum Yahudi sebagai tempat suci mereka. Padahal perkembangan selanjutnya telah menunjukkan bahwa wilayah itu berabad-abad lamanya telah menjadi tempat suci kaum Muslimin, di mana berdiri Masjidil Aqsha, salah satu di antara tempat suci kaum Muslimin yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3. TUJUAN GERAKAN ZIONISME
Cita-cita gerakan Zionisme itu, pada mulanya dicetuskan oleh seorang wartawan Yahudi bernama Theodor Hertzel, melalui bukunya “The Jewish State’ Sesudah itu dikembangkan oleh Dr. Chaim Weizmann, kemudian mendapat angin dengan pengakuan pemerintah Inggris 2 November 1917 yang terkenal dengan pernyataan Balfour Declaration.
Pada tahun 1906 diketemukan buku yang: terkenal di seluruh dunia di British Museum, berjudul: “Protocol of the Meeting of the Learned Elder of Zion” (pertemuan kaum cendekiawan Zion) yang memuat hasil dan 24 kali pertemuan suatu Sanhendrin International yang disebut Kehillah (Sanhendrin dewan tinggi Yahudi). Buku mi berisi rencana untuk membentuk suatu pemerintahan dunia tertinggi di bawah kekuasaan Yahudi.
Dalam buku mi dikatakan, bahwa yang seharusnya memerintah dunia adalah orang-orang Yahudi. “Tuhan telah bermurah hati kepada kita, umat pilihan-Nya dengan menyebarkan kita ke seluruh dunia, yang bagi mereka yang bukan Yahudi mi suatu kelemahan, namun sebenarnya kekuasaan untuk seluruh dunia”.
Menurut buku mi tugas kaum Yahudi haruslah memecah belah kaum Goyim (bukan Yahudi), mengambil keuntungan dan kekacauan, dan chaos yang terjadi. Dengan penguasaan modal oleh Yahudi, mereka dapat menentukan politik negara. “Despotisme kapital yang
seluruhnya berada di tangan kita, mengulurkan tangannya kepada pemerintah, yang mau tak mau harus menggantungkan dirinya kepada kita, kalau tidak negara kita akan tenggelam” (pasal I : 6).
Meski jumlah orang Yahudi tidak banyak, akan tetapi lantaran kualitas, militansi dan profesionalisme yang dimiliki, mampu mengendalikan situasi dunia, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Melalui media komunikasi, baik media elektronika maupun penerbitan, mereka dapat mempengaruhi opini massa. Jaringan televisi dan film misalnya, yang hampir sepanjang hari dinikmati oleh para pirsawan di seluruh dunia, akan mampu memberi warna dalam pikiran bila dibandingkan dengan khutbah yang seminggu hanya sekali dalam durasi waktu setengah jam, atau bila dibanding dengan majelis ta’lim yang hanya dikunjungi oleh sebatas kalangan tertentu saja.
4. KUALITAS LAWAN KUANTITAS
Mencermati kompetisi semacam mi, tepatlah kiranya bila mengutip ucapan Ali bin Abi Thalib RA. bahwa: “Kebenaran yang tidak terorganisasi secara rapi dapat dikalahkan okh kebatilan yang terorganisasi secara rapi”. Dalam kaitan ini, Al-Qur’an pun telah memberi gambaran bahwa mayoritas (fi-ah katsirah) tidaklah memiliki jaminan untuk menang, kalau tidak diimbangi oleh kualitas. “Berapa banyak tcrjadi golongan yang sedikit (fi-ah qalilah) dapat mengalahkan golongan yang banyak fi-ah katsirah, dengan izin Allah”. (QS. A1-Baqarah: 249).
Peluang seperti disebutkan dalam Al-Qur’an, bahwa golongan minoritas dapat mengalahkan golongan mayoritas adalah bisa dimengerti. Beberapa variable yang mendukung adalah, bahwa golongan minoritas memiliki solidaritas dan militansi yang tinggi, cepat melakukan komunikasi serta amat sedikit yang memiliki ambisi pribadi. Sebaliknya, golongan mayoritas (fi-ah katsirah), memiliki solidaritas rendah,
jaringan komunikasi secara menyeluruh lamban dan tentu amat mudah dipecah belah lantaran satu sama lain ingin tampil walaupun tidak terampil.
Kita sering mendengar, bahwa dalam percaturan dan permainan politik, “Siapa yang kecil harus pandai bermain” (Wie klein is moest slim zijn). Golongan mayoritas pada hakikatnya ajang permainan yang empuk untuk memporak porandakannya. Melalui cara memperuncing perbedaan, perpecahan tak dapat dihindarkan lagi.
5. JARINGAN-JARINGAN YAHUDI
Kaum Yahudi memiliki jaringan-jaringan pada semua negara yang ada di dunia mi dengan berbagai bentuk kegiatan organisasi yang menarik. Sebagai misal adalah Free Masonry. Organisasi ini adalah perkumpulan rahasia yang destruktif yang memiliki hubungan yang amat rapat dengan Zionisme Internasional. Ia bersembunyi di bawah semboyan:
“Kemerdekaan,persaudaraan,persamaan dan kemanusiaan”. Suatu hal yang telah banyak menyebabkan jatuhnya ke dalam jerat mereka banyak dan pemimpin kaum Muslimin, para pemimpm negara, ahli pikir dan tokoh usahawan.
Pada waktu revolusi komunis Oktober 1917, bapak Zionisme dunia Theodor Hertzel menulis dalam buku “Jewish State” (negara Yahudi) yang intinya: “Bila kaum Yahudi jatuh miskin kita menjadi kaum Proletariat, komunisme yang revolusioner, tetapi bila kita bangun, bangkit pula kekuasaan dompet kita secara dahsyat” (kapitalis).
Komunisme juga mereka sebut sebagai Masonry Merah, karena Masonry memiliki empat tmgkatan: pengikut, pekerja, guru dan kawan (orang komunis menyebut diri sesama mereka: kawan, sedang di Rusia disebut kamerad). Salah satu gerakan Yahudi yang penuh rahasia berhasil meledakan peperangan dunia pertama dengan menembak Raja A. Frans Ferdinand di Sarajevo sehingga berkobarlah perang.
Di samping Free Masonry, kaum Yahudi juga punya jaringan internasional yang mengorganisasi kaum cendekiawan, pengusaha maupun penguasa sepert: Lion Club, Rotary Club, Womans Club. Adapun tujuannya adalah guna melicinkan usaha mereka, sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Bila salah satu orang dari mereka yang tergabung dalam club ini mendapat perlakuan yang kurang menguntungkm, maka muncullah tekanan dari negara tertentu, di mana Yahudi tersebut bercokol.
6. HANCURNYA KHILAFAH ISLAMIYAH
Hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki, juga tak lepas dan permainanYahudi. Dihembus hembuskanlah nasionalisme sempit melalui perkumpulan “Ittthad wa Taraqqi” (Persatuan dan Kemajuan). Khilafah Utsmaniyah yang semula memiliki solidaritas Pan Islamisme yang memiliki kecenderungan internasionalisme, berubah menjadi fanatisme sempit yang bersumber pada ras dan kebangsaan. Terjadilah perpecahan di kalangan pemerintahan Turki, yang menyebabkan gedung negara itu sempoyongan.
Saluniki, kota di Turki yang dijadikan Yahudi markas kegiatan mereka, dipakai sebagai ajang untuk menjadi pemain di belakang layar guna menggerakkan revolusi di Turki. Dalam situasi yang amat menyedihkan itu, muncullah Theodor Hertzel, dengan wajah yang tampak belas kasihan, terhadap pemerintahan Sultan, terutama kelemahan keuangan yang dialaminya. Dengan seakan bermuka manis ia berkata:
lnilah tiang keluarga Rotschild. Semuanya saya letakkan di bawah perintah Sultan. Tetapi imbalannya, asal Sultan bermurah hati untukmembiarkan orang Yahudi yang tinggal di Palestina, dimana termasuk daerah Khilafah Sultan”
Mendengar rayuan iblis yang demikian, Sultan Abdul Hamid menolaknya dengan tegas. Hertzel keluar dengan tangan hampa, akan tetapi juga dengan dada yang penuh dengan tipu daya dan makar. Setelah peristiwa itu Free Masonry Turki memutuskan untuk menurunkan Sultan dari singgasananya (1909). Terjadilah huru-hara yang dibiayai dan digerakkan oleh Yahudi bernama Nathan yang pada waktu itu memiliki kedudukan sebagal ketua kotapraja Roma.
Tampillah Musthafa Kemal, seorang pion yang dikader dalam Masonry, demi untuk tujuan-tujuan jahat Yahudi. Dengan mendekati Islam, ia berhasil menarik hati umat. Tetapi setelah ia berhasil menjadi bapak Turki (Attaturk), maka ia mulai merencanakan memerangi Islam, menghancurkan khilafah, sesuai dengan rencana Yahudi Internasional. Pada bulan November 1922, dibatalkannya kesultanan, tetapi sebagai taktik khilafah dibiarkannya, sedangkan pada 18 November Sultan Mahmud IV diberhentikan diganti Sultan Abdul Majid. Pada Agustus 1923, didirikanlah partai Rakyat Republik sedang kebanyakan anggotanya dari Dunamah (Yahudi yang Islam) dan Free Masonry. Pada tanggal 20 Oktober 1923 diproklamirkan Republik Turki dan ia dipilih menjadi kepala negara dan baru pada 2 Mei khilafah dihilangkan.
Dari secuil pengalaman di atas, mungkinkah keguncangan negara-negara di Asia Tenggara mi merupakan ulah jaringan-jaringan Yahudi sebagai aktor intelektual?
*Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah kepala Madrasah Aliyah Mathla’un Najah Bragung.

Rabu, 18 Mei 2011

MODEL PENDIDIKAN NABI IBROHIM.
oleh: Nashiruddin Ahmad Baijuri*


Allahu Akbar 2x Walillahil hamdu.
Ikhwani Kaum Muslimin yang Berbahagia.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas izin dan kasih sayang-Nya, kita kembali hadir di tempat ini. Rasanya baru kemarin kita berkumpul di sini merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan melawan nafsu. Hari ini kita berkumpul lagi dalam perayaan Iedul Adha sebagai simbol persatuan kaum Muslimin. Satu milyar lebih kaum muslimin saat ini sedang merajut kebersamaan dengan ikatan aqidah yang kokoh. Jarak yang jauh, suku, bangsa dan bahasa yang berbeda, kini menyatu dalam sebuah ritual besar, yaitu hari raya Iedul Adha.

Suara takbir, tahmid dan tahlil yang menggema ke angkasa sejak terbenam matahari kemarin, hingga selesainya hari tasyrik tanggal 13 dzulhijjah adalah proklamasi persatuan umat Islam sedunia. Kita menyaksikan betapa indahnya kebersamaan Kaum Muslimin mendatangi shalat ied, dan betapa kuatnya pertautan hati mereka dalam ruku’ dan sujud di hadapan sang Khaliqnya. Prosesi ini bernilai sakral dan berimplikasi nyata dalam membangun kekuatan umat Islam. Suasana yang sama hari ini, juga dirasakan jutaan kaum muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah. Mereka datang dari seluruh penjuru dunia dengan niat dan tekad yang sama, mencapai haji yang mabrur. Prosesi ibadah haji ini, di samping bermakna ritual pelaksanaan rukun Islam, juga menjadi simbol persatuan umat Islam. Alhamdulillah, peserta ibadah haji terus meningkat dan tahun berikutnya sudah menunggu antrian panjang.

Semoga makna persatuan dari perayaan hari raya Idul Adha hari ini, menjadi spirit bersama dalam menyatukan potensi umat Islam. Saatnya kita sadar, bahwa Peradaban Islam yang pernah jaya selama puluhan abad, hanya bisa diulang dengan persatuan dan kebersamaan. Saatnya kita akhiri pertentangan yang menjerumuskan umat kita sendiri. Hari ini kita bangkit dan kibarkan panji persatuan Umat Islam sedunia.

Allahu Akbar 2x Walillahilhamdu
Ikhwani Kaum Muslimin yang Berbahagia
Di tengah kebersamaan merayakan Iedul Adha ini, kita sejenak perlu mengenang keteladanan Nabiullah Ibrahim a.s. dan Siti Hajar a.s. dalam melahirkan seorang generasi teladan bernama Ismail. Keberhasilan mereka berdua dalam mendidik putranya adalah sebuah pola pendidikan yang telah terbukti melahirkan seorang generasi berpredikat nabi. Keshalehan dan keta’atan Ismail diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sejarah hidupnya menjadi napak tilas pelaksanaan ibadah haji sampai hari ini.

Penyembelihan hewan qurban yang menjadi bagian dari syari’at Islam, yang insya Allah kita laksanakan setelah shalat ied ini adalah bentuk penjelmaan dari ketaqwaan Ismail kepada Tuhannya. Ismail a.s. ikhlash menerima tawaran ayahandanya untuk disembelih sebagai pembuktian cintanya kepada Allah SWT. Dia telah mampu mengalahkan keinginan nafsu dan tuntutan dunianya, karena sadar bahwa cinta dan ridhanya kepada Allah melebihi segalanya. Untuk itu, kepada segenap umat Islam yang menyembelih hewan qurban hari ini dan tiga hari tasyrik berikutnya, berqurbanlah dengan ikhlas dengan landasan cinta dan taqwa kepada Allah SWT. hindarkan diri dari riya’ dan motivasi yang bisa merusak pahala qurban. Allah SWT berfirtman: "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah Telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (Q.S. Al Haj : 37)

Allahu Akbar 2x Walillahilhamdu
Ikhwani Kaum Muslimin yang Berbahagia
Bagaimana pola Ibrahim mencetak kader berpredikat nabi itu? Al-Qur’an memberi gambaran dengan tahapan yang sitematis dan detail. Hal ini dapat kita fahami dengan penjelasan berikut: Pertama Visi pendidikan Ibrahim adalah mencetak generasi shaleh yang menyembah hanya kepada Allah SWT. Dalam penantian panjang beliau berdo’a agar diberi generasi shaleh yang dapat melanjutkan perjuangan agama tauhid. Visi Ibrahim ini diabadikan Allah SWT dalam al-Qur’an: "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh." (Q.S. Ash Shaaffaat : 100). ………. Ibrahim sangat konsisten dengan visi ini, tidak pernah terpengaruh predikat dan titel-titel selain keshalehan. Dalam mentransfer nilai kepada anaknya, Ibrahim selalu bertanya Maata’buduuna min ba’dii bukan Maata’kuluuna min ba’dii. "Nak, apa yang kau sembah sepeninggalku?" bukan pertanyaan "Apa yang kamu makan sepeninggalku?" Ibrahim tidak terlalu khawatir akan nasib ekonomi anaknya tapi Ibrahim sangat khawatir ketika anaknya nanti menyembah tuhan selain Allah SWT. Kedua, Misi pendidikan Ibrahim adalah mengantar Ismail dan putra-putranya mengikuti ajaran Islam secara totalitas. Keta’atan ini dimaksudkan sebagai proteksi agar tidak terkontaminasi dengan ajaran berhala yang telah mapan di sekitarnya . Allah SWT menjelaskan harapan Ibrahim dengan sebuah do’anya: "Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Q.S. Al Baqarah : 132). Ketiga, Kurikulum pendidikan Ibrahim juga sangat lengkap. Muatannya telah menyentuh kebutuhan dasar manusia. Aspek yang dikembangkan meliputi: Tilawah untuk pencerahan intelektual, Tazkiyah untuk penguatan spiritual, Taklim untuk pengembangan keilmuan dan Hikmah sebagai panduan operasional dalam amal-amal kebajikan. Muatan-muatan strategis pendidikan Ibrahim tersebut, Allah SWT telah jelaskan secara terperinci dalam firman-Nya: "Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Baqarah : 129). Keempat Lingkungan pendidikan Ibrahim untuk putranya bersih dari virus aqidah dan akhlaq. Beliau dijauhkan dari berhala dunia, fikiran sesat, budaya jahiliyah dan prilaku sosial yang tercela. Hal ini dipilih agar fikiran dan jiwanya terhindar dari kebiasaan buruk di sekitarnya. Selain jauh dari perilaku yang tercelah, tempat pendidikan Ismail juga dirancang menjadi satu kesatuan dengan pusat ibadah ‘Baitullah’. Hal ini dipilih agar Ismail tumbuh dalam suasana spritual, beribadah (shalat) hanya untuk Allah SWT. Kiat ini sangat strategis karena faktor lingkungan sangat berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak di sekitarnya. Pemilihan tempat (bi’ah) yang strategis untuk pendidikan Ismail secara khusus Allah SWT abadikan dalam al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya: Artinya: "Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur." (Q.S. Ibrahim : 37)

Allahu Akbar 2x Walillahil hamdu
Ikhwanie Kaum Muslimin yang Berbahagia
Pendidikan Nabiullah Ibrahim memang patut dicontoh. Beliaulah satu-satunya nabi yang berhasil mengantar semua anaknya menjadi nabi. Dan dari keturunan anak cucu beliau muncul nabi akhir zaman, yaitu Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana dengan hasil pendidikan kita. Susah untuk membandingkannya, realitas anak didik kita hari ini sangat jauh dari hasil yang dicapai Ibrahim mendidik anak cucunya. Kita harus jujur bahwa hari ini kita mengalami degradasi moral yang parah. Para anak didik kita kehilangan orientasi dan celupan nilai. Yang terjadi adalah penetrasi budaya luar membentuk prilaku baru yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Kita sudah lama dan berulang-ulang mendengar dan menyaksikan betapa suramnya masa depan anak didik kita. Tapi hasil penelitian Lembaga Survei Annisa tahun 2006 (hasil yang sama dengan survei BKKBN 2002) tentang seks bebas para pelajar menjadi berita yang menyesakkan dada. Khususnya di Jawa Barat sebagai sampel, siswi SMP dan SMA yang terang-terangan mengaku melakukan hubungan seks pranikah mencapai 45 persen. Berarti di antara 10 orang siswi kita, separuh di antaranya telah berbuat asusila tersebut. Na’udzubillahi min zalik. Dampak yang sangat tragis adalah terjangkitnya AIDS dan HIV pada anak didik kita. Menurut data Departemen Kesehatan RI, penderita HIV / AIDS usia 15 – 25 tahun hingga September 2007 mencapai jumlah 5587 orang, tentu yang belum terdata lebih besar jumlahnya. Penyakit yang hanya tunggu maut ini, sebagian besar terjangkit lewat hubungan seksual di luar ikatan pernikahan.

Yang tidak kalah bahayanya adalah Narkoba. barang haram ini sudah bisa ditemukan di sembarang tempat. Meski ada larangan, tapi peredarannya semakin meluas. Terakhir Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat rehabilitasi mental dan moral masyarakat juga ditemukan jaringan peredarannya secara gelap. Pengguna Narkoba untuk kawula muda, pelajar dan mahasiswa juga akan terus meningkat. Lingkungan dan pola interaksi sangat memungkikan bagi mereka untuk terjaring Narkoba. Hadirnya alat komunikasi yang bisa mengakses aib dan aurat menjadi transparan, sangat berpotensi membangkitkan sakhwat dan hayali mereka. Ketika nafsu sudah berbicara, maka apa pun bisa jadi. Sebagian di antaranya akhirnya memilih penyaluran lewat jalur Narkoba.

Allahu Akbar 2x Walillahilhamdu
Ikhwani Kaum Muslimin yang Berbahagia
Tidak ada kata terlambat, sekarang kita harus bangkit menyelamatkan mereka. Hal paling perioritas dari nilai-nilai pendidikan Ibrahim yang harus menjadi pola hari ini adalah bi’ah atau penciptaan lingkungan yang mendidik. Lingkungan pendidikan harus bebas dari virus aqidah dan akhlaq. Perlu suaka generasi (kawasan steril) buat perkembangan dan pertumbuhan setiap anak. Para orang tua dan pengelola pendidikan hari ini harus mencontoh keberanian Ibrahim dan Siti Hajar dalam mengamankan Ismail jauh dari lingkungan buruk. Harus ada benteng yang kuat untuk mengamankan anak kita dari pengaruh narkoba, judi, seks bebas dan kekerasan. Melepas anak berada dalam lingkungan yang buruk seperti ini, berarti kita telah menghancurkan masa depan mereka.

Desain pendidikan memang harus jauh dari segala keburukan. Lingkungan yang buruk sangat berpotensi merusak akhlaq dan kepribadian anak. Rasulullah SAW telah memberikan rambu-rambu agar menghidari setiap orang atau lingkungan yang bisa berpengaruh negatif terhadap jiwa kita. Sebagaimana sabda beliau: Iyyaaka waqariinassu’ fainnaka bihi tu’rafu "Hindari olehmu bergaul dengan orang jahat karena kamu akan dikenal dengan kejahatannya" (Al-hadits). Ada kesalahan kita dalam menilai keberhasilan anak-anak kita. Terkadang kita sangat bangga ketika anak kita meraih juara olimpiade sains atau menjadi siswa teladan dalam prestasi akademik. Namun kita jarang menghubungkan prestasi mereka dengan akhlaq dan kepribadiannya. Maka menjadi lumrah kita dapatkan, anak-anak cerdas secara intlektual dan skill tinggi tapi ibadah, akhlaq dan kepribadiannya sangat memprihatinkan. Anak didik kita hari ini adalah pemimpin bangsa di masa datang. Di pundak mereka terpikul nasib bangsa ini. Kalau mereka baik maka selamatlah bangsa ini, tapi kalau mereka rusak maka bangsa ini tinggal menunggu kehancurannya. Untuk itu, sekali lagi mari kita antar mereka menjadi generasi shaleh, yaitu generasi yang beriman, cerdas dan berakhlaq mulia. Integritas seperti inilah yang dimiliki Ismail a.s. sehingga bisa mempersembahkan yang terbaik untuk Allah SWT dan menjadi warisan sejarah generasi berikutnya.

Di akhir khutbah ini, dengan penuh khusyu’ dan tadarru, kita berdo’a kepada Allah SWT semoga perjalanan hidup kita senantiasa terhindar dari segala keburukan yang menjerumuskan umat Islam. Semoga dengan do’a ini pula, kiranya Allah SWT berkenan menyatukan kita dalam kebenaran agama-Nya dan memberi kekuatan untuk memenangkannya. Amin Ya Robbal 'Alamain

*Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla'un Najah Bragung

Selasa, 17 Mei 2011

Menebar Rahmat di Balik Jendela Keluarga


MENEBAR RAHMAT DI BALIK JENDELA KELUARGA
Oleh:
NASHIRUDDIN AHMAD BAIJURI*

Belakangan ini, komposisi berita di berbagai media sering kali didominasi oleh berita kriminal, pelecehan seksual, tindak kekerasan dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya. Hal ini tentu bukan karena faktor sensasional media untuk menarik konsumen lebih banyak, melainkan kondisi sosial masyarakat – diakui atau tidak –  memang  mulai mengarah pada tindakan anarkis. Hari ini, berita seorang ayah membunuh anak kandungnya, seorang anak membakar hidup-hidup ibunya, bahkan pemerkosaan terhadap anggota keluarganya, bukanlah kejadian langka. Masyarakat bahkan tidak lagi terkejut ketika mendengarnya dan menganggap itu sebagai hal yang ‘biasa’.  

Penyakit masyarakat yang sudah mulai menjamur ini tentu tidak muncul begitu saja. Pasti ada faktor yang menjadikan virus berbahaya ini menyebar dengan cepat dan memporakporandakan tatanan yang sudah baik. Ibarat teori kendaraan, ketika terjadi mogok, atau laju yang tidak stabil, tentu karena ada komponen yang tidak berfungsi maksimal. Untuk memperbaikinya, perlu kecermatan dan ketepatan dalam mendiagnosa sumber penyakit ini sehingga dapat segera diambil tindakan yang tepat pula. Komponen masyarakat yang paling berpengaruh terhadap hitam dan putihnya kondisi masyarakat secara umum adalah lingkungan keluarga.

Kalangan sosiolog meyakini bahwa keluarga memiliki peran penting dalam menentukan arah dan  kemajuan suatu bangsa. Mereka berteori bahwa keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat, sehingga jika tatanan keluarga - yang merupakan fondasi masyarakat -  lemah, maka masyarakat pun akan lemah. Oleh karena itu, para sosiolog meyakini bahwa berbagai masalah masyarakat merupakan akibat dari lemahnya institusi keluarga.

Bagi setiap individu, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Resolusi Majelis Umum PBB (dalam Megawangi, 2003), menyebutkan bahwa fungsi utama keluarga adalah ”sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga, sejahtera”.

Pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2003), mengatakan bahwa keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.

Kapasitas orangtua selaku pemegang kendali dalam keluarga sangat diharapkan mampu memberikan corak yang jelas dalam pengembangan keperibadian masing-masing anggotanya. Dengan demikian, dalam keluargalah ditanamkan dasar-dasar keperibadian yang kuat sebelum mereka melangkah ke lingkungan sosial yang lebih luas. Terkait hal ini, Rasulullah menegaskan bahwa setiap anak (anggota keluarga) lahir dalam keadaan suci dan bebas dari segala bentuk kejahatan duniawi. Ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan corak yang diinginkan oleh orangtuanya.

Dalam lingkungan keluarga, perlu dibiasakan bersikap santun kepada siapa pun, bahkan pada pembantu. Cara bersikap, berbicara, dan semua perilaku yang didasarkan pada prinsip kesopanan akan memberikan warna yang baik terhadap anggota keluarga tersebut ketika berintraksi dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebaliknya, ketika seseorang terbiasa dengan kekerasan dan kata-kata kotor di lingkungan keluarganya, ia akan menjadi preman di lingkungan masyarakatnya. Corak keperibadian yang baik saat ini sudah mulai pudar dan perlu penyegaran kembali. Keluarga, adalah tempat yang paling tepat untuk mengemban tugas berat tapi terhormat ini.

Sayangnya dewasa ini banyak pihak yang mulai meragukan pentingnya peran keluarga. Banyak orangtua yang karena kesibukannya jarang mempunyai waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. Mereka mempercaykan pendidikan dan pembinaan anak-anaknya pada institusi lain. Fungsi pendidikan, keagaman dan lain sebagainya, yang seharusnya merupakan tanggungjawab keluarga diambil alih sepenuhnya oleh instansi lain tersebut. Memang, keluarga memiliki banyak keterbatasan untuk menjalankan fungsi ini, tapi bagaimanapun, peran control harus tetap dilaksanakan.

Akhirnya, Jika Islam dikenal sebagai agama rahmatan lil ‘aalaimiin, maka keluarga mendapatkan kehormatan untuk berada di garda terdepan dalam merealisasikannya.

* Nashiruddin Ahmad Baijuri adalah Kepala Madrasah Aliyah Mathla’un Najah   Bragung